Suatu ketika di akhir tahun 1960-an SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX dihadapan karyawan NITOUR INC. Sebuah Perusahaan Perjalanan Nasional berskala Internasional, menyampaikan petuah yang sampai sekarang tidak mudah saya lupakan. Pada waktu itu saya hadir sebagai tamu. Hal ini berkaitan dengan harapan dan himbauan beliau pada kinerja karyawan perusahaan tersebut. Beliau berharap agar karyawan selalu berusaha bekerja baik, memelihara perusahaan ini sebagai ladang kehidupan keluarga para karyawan.
Kalau saja yang menyampaikan petuah ini adalah pimpinan sebuah perusahaan, yang besar sekalipun, ia hanyalah seorang pengusaha yang notabene berharap memperoleh laba lebih besar karena kinerja unggul para karyawannya.
Tapi petuah ini disampaikan oleh seorang panutan, seorang pejuang bangsa, seorang Sultan dari Kraton Yogyakarta, seorang pejabat Negara, yang mana ucapannya tidak bisa dianggap angin lalu yang mudah terlupakan. Petuah ini harus dimaknai secara mendalam, disimpan dan ditebarkan pada anak cucu kita.
Dari petuah ini bisa diambil perumpamaan seperti seorang petani yang tidak memelihara sawah ladangnya dengan baik, jangan berharap memperoleh hasil yang bisa memakmurkan dan mampu menghidupi diri dan keluarganya.
Kalau seorang ayah dan ibu tidak ngrumat anak-anaknya dengan baik dan membiarkannya tumbuh semaunya sendiri, baik karena kemiskinan ataupun karena kelimpahan harta, akan memetik hasil sesuai dengan apa yang telah dicontohkan para orang tuanya. Mereka belajar pada apa yang telah dilakukan, dilihat dan didengar dari para orang tuanya.
Demikian juga kita sebagai bangsa kalau saja kita tidak pernah belajar atau diajari agar bertanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan, demikian juga halnya yang akan ditiru dan berakibat fatal pada generasi penerus bangsa.
Untuk orang miskin beban kesengsaraan sudah langsung mereka rasakan, tetapi bagi orang yang punya uang kejadiannya hanya mundur selangkah, karena akibat-akibat tindakan yang boleh dikatakan sudah masal dilakukan oleh masyarakat sebagai komponen bangsa.
Hutan yang menjadi tandus karena dibabat baik untuk sekedar kayu bakar, maupun dicuri untuk dijual ke luar negeri melalui cukong-cukong pembalakan liar, akan bermuara pada bencana-bencana yang saling sambut menyambut karena kemurkaan alam dengan sebab tindakan tak bertanggung jawab rakyat miskin dan keserakahan para pengusaha yang memperoleh kesempatan untuk menebangnya.
Sumber yang paling utama adalah kedisiplinan. Siapapun perlu disiplin. Jangan hanya beranggapan yang perlu disiplin itu tentara, dan itupun hanya dalam baris-berbaris., dan karena miskin tidak perlu disiplin, jangan karena kuasa dan punya uang tidak perlu disiplin. Pelecehan-pelecehan yang terjadi dan dimanapun adalah karena tidak adanya kedisplinan.
Berjalan di jalur yang salah, berjualan di jalan dan halte bus yang bukan peruntukkannya. Parkir kendaraan yang bukan semestinya. Sebagian besar berdalih kemiskinan dan pengangguran. Membuang sampah dimana saja, mengotori jalanan dan menyumbat saluran air dan membuntu sungai dan membanjiri pemukiman. Siapa yang salah?
Semoga untuk selanjutnya para pemeran jagoan dan premanisme menyadari bahwa apa yang dilakukannya telah melanggar disiplin dan aturan. Kemiskinan tidak diatasi dengan mengeluh dan mengambil hak orang lain, tapi perlu menyingsingkan lengan baju dan mengucurkan keringat atau memeras otak untuk memperoleh imbalan bagi kehidupan keluarga kita.
Bingung? Mari belajar mengatasi masalah dengan cara berdisiplin, mau terus belajar dan mampu bekerja keras dan bekerja secara cerdas.
Mungkin inilah sebagian kecil petuah beliau yang bisa diterjemahkan. Sehingga apa yang dikehendaki beliau bisa kita maknai dan terapkan untuk memakmurkan diri kita, masyarakat dan bangsa ini. (PS Atma Yudha Pratama).