LEGENDA NGGÉRANG DI MANGGARAI BARAT
(Studi Kasus di Ndoso, Pongkal, danTodo)
Nicolaus Got
Jurusan Hospitality S1 Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo
(STIPRAM) Yogyakarta, Jl. Laksa Adisucipto Km. 5, Yogyakarta
55281 Indonesia, Telp. (0274) 485650, 7487497, Fax. 485214
Abstract
The purpose of this research to know Nggérang legend at West Manggarai. Nggérang legend same almost of Rara Jonggrang legend. If Nggérang legend happened in Ndoso rural, of Regency West Manggarai, and Province of East Nusa Tenggara, while Rara Jonggrang legend happenend in Prambanan rural, Regency Sleman, and Special District of Yogyakarta. In addition to, if Nggérang daughter ask in marriaged from Sultan Bima, but push away, should also with Rara Jonggrang daughter ask in marriaged from Prince Bandung Bandawasa of Pengging, too push away. Both Nggérang daughter and Rara Jonggrang daughter together leave behind his legend which based become of culture of his community, and become of tourism destination both domestic and foreinger.
Keywords : Legend, rural, ask in marriaged, push away, and tourism.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Legenda Nggerang dan Rara Jonggrang dalam hal percintaan memiliki kesamaan, yaitu karena menolak pinangan maka dirinya sendiri menjadi korban. Fenomena seperti ini sering terjadi dalam hal percintaan, tidak hanya pada individu dari kalangan masyarakat biasa, tetapi juga pada individu dari kalangan masyarakat yang memiliki kekuasaan. Jika putri Nggérang yang berasal dari keluarga masyarakat biasa atau tidak memiliki kekuasaan menolak Sultan Bima yang memiliki kekuasaan tanpa syarat, sebaliknya putri Rara Jonggrang yang berasal dari keluarga kerajaan yang memiliki kekuasaan menolak Pangeran Bandung Bandawasa yang memiliki kekuasaan, sebagai pewaris keraton Pengging dengan syarat. Putri Nggérang lahir dan dibesarkan di dusun Ndoso, dan sekarang masuk wilayah Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebaliknya putri Rara Jonggrang lahir dan dibesarkan di Kraton Baka, dan sekarang masuk wilayah Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Putri Nggérang memiliki legenda berupa dua buah genderang yang terbuat dari kulitnya sendiri, sebaliknya putri Rara Jonggrang memiliki legenda di candi Prambanan tepatnya arca Durga Mahisasramardini dalam ruang Utara candi Siwa (id.wikipedia.org/wiki/Rara_Jonggrang_Tembolok_Mirip. Retrieved on Juli 4.2011).
Arca tersebut merupakan saksi sejarah legenda Rara Jonggrang. Konon ceritanya, putri Rara Jonggrang yang sangat cantik dan ramping, dapat menerima pinangan Pangeran Bandung Bandawasa dari keraton Pengging dengan syarat membangun seribu candi atau arca dalam waktu semalam. Syarat tersebut diterima Pangeran Bandung Bandawasa tanpa ragu karena memiliki kesaktian. Kesaktiannya itu dibuktikan, sebelum membangun candi tersebut, pangeran Bandung Bandawasa menjalankan puasa selama tiga hari tiga malam. Pada hari terakhir dalam menyelesaikan puasanya, menjelang malam pangeran Bandung Bandawasa mengundang semua jin dari dalam tanah di sekitar Prambanan untuk membangun candi sebagaimana yang dijanjikan dengan putri Rara Jonggrang. Namun menjelang subuh putri Rara Jonggrang melihat pembangunan candi hampir selesai, ia pun tidak kalah akal membangunkan para dayang, menyuruh mereka menumbuk padi dan menyalakan api. Melihat keadaan tersebut semua jin lari masuk ke dalam tanah, pembangunan candi tidak dilanjutkan, kendatipun masih kurang satu buah. (Haryati Soebadyo, dkk., 1996).
Menumbuk padi yang melahirkan bunyi-bunyian gaduh akibat perpaduan alu yang diayunkan para dayang di atas lesung penumbuk padi, dan diiringi nyala api sebagai tanda hari sudah subuh. Melihat situasi tersebut ayam pun berkokok. Namun candi atau arca yang dibangun Bandung Bandawasa baru berjumlah 999 buah, dan hanya kurang satu buah. Sesungguhnya putri Rara Jonggrang menolak pinangan Bandung Bandawasa karena sakit hati atas kematian ayahnya Raja Baka yang dibunuh pangeran Bandung Bandawasa dalam suatu pertempuran. Permintaan membangun candi merupakan siasat putri Rara Jonggrang untuk menolak secara halus. Kenyataan menunjukkan Pangeran Bandung Bandawasa baru berhasil membangun 999 candi dan hari sudah subuh, dan kenyataan tersebut dijadikan alasan bagi putri Rara Jonggrang untuk menolak pinangan Bandung Bandawasa. Setelah tahu siasat licik putri Rara Jonggrang, maka pangeran Bandung Bandawasa mengutuk putri Rara Jonggrang dan menjadi arca yang ditempatkan di ruang bagian Utara candi Siwa di pelataran candi Prambanan. Menurut alur cerita yang terdapat di candi Siwa di pelataran candi Prambanan, masuk dari ruang bagian Timur sebagai simbol awal dari perjuangan hidup umat manusia di dunia, kemudian berjalan keliling menurut arah jarum jam ke Selatan,terus ke Barat dan berakhir di ruang bagian Utara sebagai simbol dari akhir perjalanan hidup umat manusia menuju Nirwana atau Surga.
Arca Rara Jonggrang
Dinamakan Nggérang karena kulitnya putih dan rambutnya merah kehitam-hitaman atau agak pirang. Keberadaan Putri Nggérang merupakan hasil perkawinan resmi antara manusia dengan makhluk halus dari alam yang lain, dalam bahasa Manggarai disebut ata pelsina atau kakartana, dan dalam bahasa Jawa disebut peri. Tempat tinggal Putri Nggérang tepatnya di dusun Ndoso bersama ayah yang bernama Awang, dan ibu yang bernama Hendang. Ditengah kebahagiaan tersebut, Putri Nggérang yang masih bayi ditinggalkan ibunya karena suaminya Awang melanggar hal-hal yang menjadi pantangan bagi Hendang istrinya hingga tiga kali. Selanjutnya putri Nggérang diasuh oleh tiga bersaudara anak dari Awang yang berasal dari istri yang bernama Tana. Ketika putri Nggérang memasuki usia remaja 15-an tahun ke atas, ia dipinang oleh banyak pemuda, termasuk Sultan Bima. Sultan Bima yang sedang berkuasa ketika itu yang terletak diujung Timur pulau Sumbawa, konon ceritanya ia selalu melihat cahaya yang terpancar ke langit yang berasal dari daerah Manggarai.
Cahaya tersebut sesungguhnya berasal dari kulit emas putri Nggérang yang tumbuh pada punggung bagian atas, berbentuk bulat dan besarnya seukuran bulatan mata gung. Sultan Bima mengutus seorang abdi kerajaan bersama beberapa orang prajurit kerajaan ke Manggarai yang terletak diujung barat pulau Flores guna melacak cahaya tersebut. Setelah dilacak dan yakin cahaya tersebut dimiliki oleh seorang putri cantik dan masih remaja bernama Nggérang yang tinggal di dusun Ndoso. Selanjutnya Sultan Bima mempersiapkan diri untuk berangkat ke Manggarai untuk meminang putri Nggérang. Ketika Sultan Bima tiba di sana, masyarakat menerimanya dengan baik. Namun sangat disayangkan, ketika Sultan Bima menyampaikan isi hatinya untuk meminang putri Nggérang yang cantik dan masih remaja, namun ditolak tanpa syarat (Simon Samu, Pongkal, 2005).
Karena putri Nggérang menolak pinangan Sultan Bima, maka ia meminta kepada orang tuanya untuk mengambil kulitnya dan dibuatkan genderang. Satu genderang di bawa ke Bima dan satu genderang disimpan di Ndoso. Orang tua putri Nggérang merasa permintaan Sultan tersebut sangat berat. Namun karena ini permintaan Sultan Bima yang juga sebagai Raja yang berkuasa di daerah Manggarai ketika itu, maka orang tua putri Nggérang pun tidak bisa menolak. Berbagai usaha telah dilakukan oleh orang tua putri Nggérang, seperti memotong kerbau, kemudian kambing, dan kulitnya dibuatkan genderang, tetapi tidak mengeluarkan bunyi seperti yang diinginkan dan cahaya yang memancar ke langit pun tidak hilang, tetap kelihatan dari kerajaan Bima. Karena ditekan terus-menerus oleh Sultan Bima, akhirnya pada suatu hari orang tua yang bernama Awang mengajak putri Nggérang mencari kutu rambutnya dan putri Nggérang tidak keberatan. Bersamaan dengan itu Awang mencabut beberapa helai rambutnya dan disimpan dalam tabung kecil, dan hal tersebut tidak menimbulkan efek atau pengaruh apa-apa. Kemudian ia mencungkil kulit emas yang berbentuk bulat sebesar mata gung dipunggungnya agar tidak memancarkan cahaya lagi, namun seketika itu putri Nggérang meninggal. Melihat kejadian fatal tersebut, maka Awang mencungkil sekalian kulit punggung bersama kulit emas dan kulit perutnya, untuk dibuatkan genderang. Kulit putri Nggérang yang dicungkil, satu dari kulit punggung dan yang lain dari kulit perut, dan sebagian kulit emas dari punggung ditanamkan di bukit Tingku Romot dekat Reo, sehingga kali Reo jika banjir selalu mengarah ke Timur (daerah Lambaleda), serta mempersiapkan proses pemakamannya (Simon Samu, Pongkal : 2005).
Tempat pemakaman putri Nggérang tidak jauh dari dusun Ndoso, di pintu masuk ke dusun Ndoso, yang menjadi saksi hingga sekarang. Genderang dari kulit punggung di kirim ke Sultan Bima, namun karena petugas yang membawa genderang ke Bima tidak mampu melewati arus di selat Gili Banta, maka mereka berbelok arah dan hanyut di bawa arus hingga terdampar di pulau Sumba. Dengan demikian keberadaan genderang tersebut tidak di kerajaan Bima tetapi di Sumba hingga sekarang. Genderang yang terbuat dari kulit emas di punggung memiliki pengaruh akademis. Hal tersebut terbukti mayoritas keluarga di pulau Sumba sebagai ahli warisnya banyak berprofesi di bidang Pemerintahan dan dunia pendidikan. Genderang yang terbuat dari kulit perut memiliki pengaruh ekonomis. Hal tersebut terbukti mayoritas keluarga di Ndoso, Pongkal, dan Pateng sebagai ahli waris, selain berprofesi dalam dunia pendidikan namun masih banyak yang berprofesi dalam bidang pertanian dan beberapa keluarga ahli warisnya berprofesi sebagai nelayan.
Tidak berapa lama kemudian, setelah genderang yang satu di kirim ke Bima, pemuda dari Todo dengan rombongan yang cukup besar datang mengambil genderang dari putri Nggérang di Ndoso dengan kekerasan. Pada dasarnya Awang tidak mau memberi genderang tersebut, namun karena rombongan mereka banyak dan bringas, maka Awang memberi walaupun tidak ikhlas. Setelah dua genderang dari kulit putri Nggérang tidak ada lagi di Ndoso, maka proses selanjutnya melaksanakan pesta kenduri.
Kendatipun genderang yang terbuat dari kulit perut berada di Todo, namun karena diambil dari Ndoso dengan kekerasan, dan mereka yang berhak menjadi Raja di Manggarai ketika itu hingga berakhirnya zaman pemerintahan kolonial, tetapi dalam hal ekonomi tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Sejak kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kekuasaan raja Todo pelan-pelan berkurang. Todo kemudian dijadikan sebagai dalu dan pada masa Orde Baru menjadi Kecamatan yang berada di bawah Kabupaten Manggarai, di mana Bupatinya pada masa orde reformasi diangkat melalui pemilihan secara langsung. Di Todo hingga saat ini masih ada rumah adat yang disebut Niang dan di dalam rumah tersebut masih tersimpan genderang putri Nggérang (gendang loke Nggérang).
Adat istiadat di Manggarai sangat diwarnai oleh adat istiadat Mongoloid Melayu (Koentjaraningrat, 1997). Adat istiadat menghormati Roh para leluhur, mengalami modifikasi yang diilhami oleh keberadaan legenda Nggérang. Dengan demikian legenda Nggérang menjadi icon bagi perkembangan ekowisata yaitu pariwisata berwawasan lingkungan di Manggarai Barat. Maka dari itu masyarakat perlu memiliki pemahaman tentang konsep sadar wisata dengan tekanan utamanya pada ekowisata. Ekowisata adalah pariwisata yang berwawasan lingkungan, baik alam (nature) maupun warisan budaya (Oka A. Yoeti, 2000).
2. Perumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana cara menelaah keberadaan legenda Nggérang di Manggarai Barat dalam perspektif ekowisata yaitu pariwisata yang berwawasan lingkungan sebagai icon bagi pengembangan pariwisata dalam rangka pelestarian warisan budaya para leluhur?
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini diilhami oleh banyak literatur, dan literatur utama adalah buku yang berjudul : 1. Indonesian Heritage (Ancient History), (1996), dengan Editorial Advisory Board, Haryati Soebadyo (Chair), Joop Ave (H.E. Minister), dkk. Buku literatur pendukung adalah : 2. Pariwisata Budaya (Masalah dan Solusinya) (2006) yang dihimpun H. Oka A. Yoeti, dkk.; 3. Panduan Pelaksanaan Sadar Wisata;. 4. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, (1997) yang ditulis Koentjaraningrat. Isi buku-buku tersebut menggambarkan betapa kaya dan tingginya legenda para leluhur bangsa Indonesia sejak zaman Pra-sejarah Awal hingga Islam Awal bahkan hingga awal Kemerdekaan bangsa Indonesia tahun 1945. Selain itu didukung oleh informasi dari Nara Sumber sebagai saksi hidup tentang legenda leluhur Nggérang.
PEMBAHASAN
1. Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat
Januari 2003 Manggarai dibagi menjadi dua kabupaten, yaitu Manggarai dan Manggarai Barat. Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat dengan ibukota Labuhan Bajo, dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2003. Pada tahun 2007 Manggarai dibagi menjadi dua kabupaten lagi, yaitu Manggarai dan Manggarai Timur dengan ibukota Borong. Dengan demikian Manggarai di mekar menjadi tiga kabupaten, yaitu Manggarai dengan ibu kota Ruteng, Manggarai Barat dengan ibu kota Labuhan Bajo, dan Manggarai Timur dengan ibu kota Borong.
Pemekaran tersebut secara geopolitik dipandang sebagai kebijakan strategis dalam dua aspek. Pertama, dalam aspek suprastruktur (birokrasi), memperpendek rentang kendali birokrasi dari Pemerintah kepada masyarakat; Kedua, dalam aspek infrastruktur (sarana dan prasarana) mempercepat proses pembangunan dalam berbagai bidang terutama aksesibilitas jalan raya, penerangan dan air bersih.
2. Pelestarian Legenda Nggérang
Pelestarian legenda Nggérang merupakan keniscayaan karena dipandang sebagai salah satu icon bagi pengembangan pariwisata di Manggarai Barat. Hal tersebut sangat ditentukan oleh dukungan yang sinergi dari tiga komponen, yaitu pemerintah, stakeholder (industri) dan masyarakat. Pemerintah berperan sebagai fasilitator (penyandang dana), regulator (penentu kebijakan), motivator (penggerak) dan pengawas. Stakeholder (Industri) berperan sebagai investor (pelaku dan ujung tombak pengelola dan pengembangan) yang berhubungan langsung dengan produk dan pasar, serta kontraktor (perancang dan penata). Masyarakat berperan selain sebagai penerima manfaat, juga sebagai pelaku aktif bagi keberhasilan pelestarian legenda. Ketiga komponen tersebut menjadi penentu bagi terwujudnya iklim pengembangan pariwisata yang kondusif, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Ontologi Legenda Nggérang
Ontologi atau realitas keberadaan Putri Nggérang menurut para ahli warisnya, hanya dimiliki panga (klan) Pongkal, Wontong, Kuleh, dan Pateng (Simon Samu, Pongkal, 2005). Nggérang adalah gadis cantik yang dilahirkan oleh seorang ibu bernama Hendang. Hendang adalah makhluk yang berasal dari alam lain atau makhluk halus (dalam bahasa Manggarai disebut kakartana, dan dalam bahasa Jawa disebut peri). Ia aslinya berasal dari istana Pongkor Rangat, dibagian atasnya terdiri dari onggokan batu-bartu besar seperti bukit batu, dan dibagian bawahnya terdapat mata air yang dinamakan temek waé mata alo (rawa-rawa mata air delapan) dekat Ndoso. Ia menikah dengan seorang manusia biasa yang bernama Awang. Dengan demikian putri Nggérang, merupakan hasil perkawinan antara Awang dengan Hendang. Nama istri tersebut sama persis dengan nama anak wanita pertama dari Awang. Awang sebelumnya memiliki istri dengan nama Tana, dan memperoleh empat orang anak, satu anak laki-laki yaitu Para, dan tiga anak wanita, yaitu Hendang wanita pertama yang kawin dengan pemuda dari klan Wontong (Regho), wanita kedua kawin dengan pemuda yang berasal dari klan Kuleh yang bernama Howok, dan wanita ketiga kawin dengan pemuda yang berasal dari klan Pateng.
Kisah perjumpaan antara Hendang dan Awang. Pada suatu musim tanam, istri Awang yang bernama Tana (istri dari manusia biasa) menanam tebu di kebun yang bernama temek wae mata Alo (rawa-rawa dengan mata air delapan) dekat dengan dusun Ndoso, sebanyak 8 (delapan) rumpun (Simon Samu, Pongkal, 2005). Setelah tebunya sudah cukup tua sekitar bulan Maret atau April, tebu tersebut sudah bisa dipanen. Sebagaimana biasanya, tebu yang sudah siap dipanen, mengundang minat setiap orang yang lewat di situ untuk mengambilnya. Demikian juga dengan makhluk yang berasal dari alam yang lain, juga mengundang minatnya untuk mengambil tebu tersebut. Pada suatu ketika, pada hari Jumat tengah hari, dari 8 (delapan) rumpun tebu tersebut masing-masing hilang satu batang, tanpa diketahui siapa yang mengambilnya. Demikian juga pada hari Jumat kedua, dari 8 (delapan) rumpun tebu tersebut masing-masing hilang satu batang. Karena itu Awang pemilik tebu tersebut, ngo nggé (pergi menanyakan) kepada orang-orang di dusun Ndoso, namun tidak satu orang pun yang mengaku. Karena itu Awang pada hari Jumat ketiga, tengah hari mengintip mungkin ada orang yang akan mengambil tebunya lagi. Ternyata benar pada hari Jumat ketiga, tengah hari datanglah seorang gadis yang kelihatan hanya bayang-bayangnya saja, mengambil tebu satu per satu setiap rumpun, dan seketika itu juga Awang maju mendekat. Ketika gadis yang kelihatan hanya bayang-bayangnya saja, hendak mengambil tebu pada rumpun ke-8, maka seketika itu Awang hanya spekulasi merangkul bayang-bayang tersebut, dan ternyata bayang-bayang tersebut adalah sosok seorang gadis cantik jelita, yang tidak bisa menghindar. Ketika Awang menuntut pada gadis tersebut yang kondisinya sudah dalam wujud seorang wanita cantik jelita untuk membayar tebu tersebut, malahan sang gadis mengajak Awang untuk menghadap orang tuanya di istana Pongkor Rangat (bukit yang terdiri dari batu-batu yang bernama Rangat) dekat dengan kebun tersebut. Awangpun tidak keberatan dan dari situ mereka berdua berjalan bersama-sama menghadap orang tua sang gadis cantik jelita di istana Pongkar Rangat. Ketika keduanya sampai di rumah orang tua gadis cantik jelita di istana Pongkor Rangat, di hadapan orang tua sang gadis, Awang menanyakan kepada bapak dari gadis tersebut, benarkah gadis jelita ini anakmu? Malah orang tua sang gadis balik menjawab, gadis itu adalah istrimu yang bernama Hendang. Pongkor Rangat sehari-hari dilihat sebagai bukit yang terdiri dari tumpukan batu-batu besar yang tidak beraturan dan sangat sulit untuk dibongkar. Namun bagi Awang ketika itu dalam penglihatannya masuk ke sebuah istana.
Berdasarkan jawaban dari Ayah sang gadis jelita tersebut, Awang diterima dengan baik dan diberi bantal duduk, namun bantal untuk duduk tersebut adalah seekor népa (ular sawah). Orang tua Hendang meminta Awang untuk menikah dengan anaknya, dan untuk pasa (mas kawin), harus membawa, manuk lalong sepang (ayam jantan berbulu merah), ela raé (babi berbulu merah), dan mbé kondo (kambing berbulu merah putih), masing-masing satu ekor. Setelah pasa (mas kawin) berupa tiga jenis hewan tersebut di atas diserahkan, maka seketika itu juga Awang tinggal bersama dan hidup sebagai suami-istri di Pongkor Rangat. Awang sejak saat itu menghilang dari komunitas masyarakat Ndoso untuk beberapa bulan hingga istrinya melahirkan anak pertama, dan diberi nama Nggérang.
Setelah orang tuanya tahu bahwa Hendang telah melarikan anak pertamanya, maka kemudian orang tuanya menyuruh mereka (Hendang, Awang, dan anaknya) untuk kembali tinggal di dusun Ndoso bersama komunitas masyarakat Ndoso. Hendang tinggal bersama dengan suami Awang dan anaknya di dusun Ndoso tidak terlalu lama, hal tersebut disebabkan Awang melanggar hingga tiga kali yang menjadi pantangan bagi istrinya Hendang.
4. Epistemologi Legenda Nggérang
Epistemologi diartikan sebagai cara, atau teknik. Cara atau teknik menelaah keberadaan legenda Nggérang. Keberadaan legenda Nggérang, pertama-tama menelaah kegiatan rutin yang dilakukan Hendang sebagai seorang istri ketika tinggal bersama dengan suami dan anaknya di dusun Ndoso. Kegiatan rutin Hendang selain mengurusi suami dan anaknya, juga memasak, dan menimba air (Simon Samu, Pongkal, 2005). Ketika Hendang pergi timba air, Nggérang yang masih bayi dijaga dan digendong bapaknya Awang. Hendang memberi pesan kepada Awang, jika anaknya menangis tidak boleh mendendangkan lagu sebagai berikut : ipung setiwu, paké sewaé, téu sa ambong (ikan kecil sekolam, katak sesungai, tebu serumpun). Namun ketika Hendang sedang pergi timba air yang cukup jauh dari rumah, Nggérang pun menangis. Awang berupaya menghentikan tangisan anaknya Nggérang dengan mendendangkan banyak lagu namun tidak membuat ia berhenti menangis. Banyak lagu didendangkan namun Nggérang terus dan terus menangis, dan baru berhenti menangis ketika mendendangkan lagu ipung setiwu, paké se waé, téu se ambong (ikan kecil sekolam, katak sesungai, tebu serumpun). Lagu tersebut memang dilarang dan menjadi pantangan bagi Hendang, namun suaminya Awang tidak memahami sedikitpun larangan tersebut.
Sesungguhnya lagu tersebut bagi Hendang memiliki makna, ipung (ikan kecil) simbol dari Hendang, dan pake (katak) simbol dari Awang, dan teu (tebu) simbol kisah percintaan antara Hendang dengan Awang, namun suaminya Awang tidak memahami sedikitpun. Hendang melarang mendendangkan lagu tersebut, karena keduanya sudah berstatus sebagai suami-istri yang berada di tengah-tengah masyarakat manusia pada komunitas di Ndoso. Ketika Awang mendendangkan lagu tersebut, tujuannya hanya satu, agar anaknya Nggérang berhenti menangis. Namun bagi Hendang dengan mendendangkan lagu tersebut seakan-akan keduanya dipaksakan untuk kembali kepada habitannya masing-masing, dan memisahkan keduanya, tetapi Awang tidak pernah terlintas dalam bayangannya akan hal tersebut. Dengan demikian lagu tersebut merupakan simbol yang mempertemukan dan mempersatukan mereka berdua yang berasal dari alam yang berbeda namun bisa bersatu melalui perkawinan, dan simbol tersebut tidak dipahami Awang suaminya.
Lagu tersebut dilarang oleh Hendang agar ia dapat hidup dengan tenang ditengah-tengah komunitas masyarakat di Ndoso, dan secara perlahan-lahan ia melupakan asal usulnya dan berperan sebagai manusia biasa. Namun dengan mendendangkan lagu tersebut, seakan-akan mengingatkan Hendang tentang asal usulnya, dan lagu tersebut menjadi pemicu retaknya kelangsungan hidup keluarga mereka sebagai suami-istri di dusun Ndoso.
Pelanggaran pertama, dan kedua bagi Hendang mendendangkan lagu tersebut kendatipun sudah diingatkan, namun masih dapat dimaafkan. Pelanggaran yang ketiga-kalinya justru berakibat fatal, yaitu Hendang (ibunda putri Nggérang) pergi meninggalkan Awang bersama anaknya Nggérang di dusun Ndoso untuk selamanya. Lagu yang menjadi pantangan dan tetap didendangkan untuk yang ketigakali, begitu Hendang pulang dari timba air, bambu yang berisi air diletakkan pada tempat gantungannya, dan langsung berpamitan kepada Awang. Hendang berpesan dan diiringi dengan suara isyak tangis, sekarang tidak ada maaf lagi, kita berdua terpaksa harus berpisah, Hendang akan pulang ke rumah orang tua, dan Nggérang anakmu harap dipelihara dengan baik. Mendengar pesan tersebut, Awang tidak bisa menjawab dan tidak berdaya, karena seketika itu Hendang berubah wujud menjadi seekor népa (ular sawah), dan ketika di pegang sangat licin, sehingga dengan mudah ia pergi meninggalkan dusun Ndoso, untuk selamanya, karena setelah itu ia tidak pernah muncul lagi. Namun demikian Awang suaminya masih berusaha untuk membawanya kembali dan mencarinya hingga ke istana Pongkar rangat. Ketika Awang sampai di istana Pongkor rangat, yang dilihat hanyalah pongkor (batu bersusun dalam onggokan besar) yang tidak bisa dibongkar.
Sejak kepulangan Hendang kepada orang tuanya, maka sejak itu pula Nggérang yang masih bayi dipelihara dan dibesarkan oleh keempat kakaknya, yaitu Para saudara laki-laki, Hendang dan dua kakak wanita lainnya. Putri Nggérang makin lama makin besar menjadi seorang gadis yang sangat cantik, tidak ada tandingannya dengan gadis tercantik di dusun Ndoso dan sekitarnya ketika itu. Ketika putri Nggérang mencapai usia dewasa banyak pemuda yang tertarik kepadanya, dan ketika ia dicari oleh pemuda yang ingin melamarnya, ia berubah wujud, antara lain menjadi seekor kucing atau binatang lain atau benda lain seperti kulit pinang, sehingga sulit dijumpai (Lasa Tongong, Pongkal, 2005). Setelah putri Nggérang semakin dewasa, maka kulit emas berbentuk bulat sebesar mata gung, yang tumbuh pada punggungnya memancarkan cahaya ke langit hingga kelihatan dari kerajaan Bima. Melihat hal tersebut, Sultan Bima ingin meminangnya. Kemungkinan Sultan Bima yang meminang putri Nggérang bukan Sultan Abdul Kadim, karena ia ke Manggarai pada tahun 1760 hanya untuk suatu tugas melakukan perang dan menaklukkan Manggarai. Karena itu besar kemungkinan Sultan Abdul Hamid yang meminang putri Nggérang, karena ia ke Reo pada tahun 1792 untuk tugas pemerintahan kerajaan Bima dalam mengurusi taki (upeti).
Karena putri Nggérang selalu menolak pinangan dari banyak pemuda termasuk Sultan Bima, maka Awang menjadi gelisah dan takut, karena ia diancam akan dibunuh. Pesan dari Sultan Bima jika putri Nggérang menolak pinangannya maka ia harus di bunuh dan kulitnya dibuatkan genderang dan di bawa ke Bima untuk disimpan di Istana Kerajaan Bima. Untuk mengatasi kegelisahan dan ketakutan tersebut, Awang pada suatu hari memotong seekor kerbau dan kulitnya dibuatkan genderang, guna menghapus cahaya yang memancar ke langit yang kelihatan hingga ke kerajaan Bima. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil, karena cahaya yang memancar ke langit tetap kelihatan dari kerajaan Bima, dan tidak menghasilkan bunyi tertentu sebagai tanda kulit putri Nggérang sudah dibuatkan genderang. Pada hari berikutnya Awang memotong seekor kambing, dan kulitnya ditempelkan pada genderang, namun bunyinya tetap tidak terdengar dari kerajaan Bima, dan cahaya yang memancar ke langit tetap kelihatan.
Segala daya upaya telah dilakukan namun semuanya sia-sia, dan satu-satunya cara terakhir yang bisa dilakukan Awang adalah mengajak putri Nggérang untuk sighi ghutu (mencari kutu rambut). Sementara proses sighi ghutu (mencari kutu rambut) berjalan, maka pada saat yang bersamaan Awang mencabut beberapa helai rambut putri Nggérang yang panjangnya hingga betis dan disimpan dalam sebuah tabung kecil, namun hal itu tidak menimbulkan dampak yang tidak merisaukan. Kemudian Awang mencungkil kulit emas yang tumbuh pada punggungnya yang memancarkan cahaya ke langit. Tujuan utama bapak Awang untuk mempertahankan putri Nggérang tetap hidup, dengan mencabut beberapa helai rambut dan selanjutnya mencungkil kulit emasnya sebagai bukti bahwa Nggérang seakan-akan sudah dibunuh, namun kenyataannya justru nyawa putri Nggérang tidak tertolong. Niat untuk menyelamatkan nyawa putri Nggerang dari ancaman pembunuhan Sultan Bima malahan menjadi fatal, yaitu putri Nggérang meninggal.
Melihat kejadian tersebut, selanjutnya Awang mengambil kulit perutnya. Baik kulit emas dari punggung maupun kulit perut, masing-masing dibuatkan dua buah genderang kecil yang berbeda. Sebagian kulit emas dari punggung putri Nggérang sebelum dibuatkan genderang, ditanamkan di tengku romot sehingga kali reo mengalir ke arah Lambaleda dan Reo luput dari banjir yang selalu terjadi setiap tahun pada musim hujan. Genderang yang terbuat dari kulit emas kemudian dipukul, dan mengeluarkan bunyi yang bernada sebuah lagu dengan sya’ir sebagai berikut:
5 5 5 5 / ì . 2 î î 0 /
Si sik lo ke Nggé rang tit... tit….
Ketika genderang dibunyikan, maka seketika itu wer uhang mela (turun hujan gerimis yang disertai pantulan sinar matahari) di Istana Kerajaan Bima, dan bunyi genderang tersebut terdengar hingga ke kerajaan Bima, dan seketika itu juga cahaya yang memancar ke langit tidak kelihatan dari kerajaan Bima. Selanjutnya Sultan Bima yang merupakan cucu dari kerajaan Majapahit, baru yakin dan percaya bahwa putri Nggérang sudah meninggal.
Awang membuat dua buah genderang sesuai dengan perintah Sultan Bima, genderang yang terbuat dari kulit emas dibawa ke Sultan Bima, dan genderang yang terbuat dari kulit perut disimpan di Ndoso (Dion Pangul, Yogyakarta, 2006). Orang yang ditunjuk membawa genderang ke Sultan Bima, karena tidak dikehendaki leluhur Nggérang sebagaimana ketika ia masih hidup, dia dihadang di Selat Gili Banta yaitu selat antara pulau Gili Banta dan pulau Komodo, sebelum masuk selat Sape, sehingga tidak mampu melewati selat tersebut, sebelum masuk selat Sape. Selat Gili banta sangat terkenal dengan arusnya yang berputar keliling membentuk lingkaran yang memusat. Arus tersebut sangat kelihatan pada saat air laut surut, dan ketika air laut pasang tidak begitu kelihatan namun tetap ada arus, yang selalu ditakuti banyak orang ketika melewati selat tersebut. Karena ia tidak mampu melewati selat tersebut maka ia berbelok arah ke selatan, melalui selat sape dan akhirnya hanyut menuju ke pulau Sumba dan tinggal disana hingga sekarang. Tidak lama setelah itu ketika orang Todo dengan bantuan raja Cibal berhasil masuk ke dusun Ndoso, mereka mendapatkan genderang yang berasal dari kulit perut. Dengan demikian genderang yang berasal dari kulit perut sejak saat tersebut berada di Todo, sehingga pemuda dari Todo yang berhak menjadi raja di Manggarai.
Setelah putri Nggérang meninggal, mayatnya dimakamkan di pintu masuk ke dusun Ndoso, dengan bukti batu besar yang masih tertanam kokoh pada kepala dan kakinya. Selanjutnya rencana untuk mengadakan kelah (kenduri) putri Nggérang cukup dengan memotong kerbau biasa. Namun atas permintaan leluhur Nggérang melalui pencerahan, bukan kerbau biasa, tetapi kaba pada (kerbau besar pendek). Kerbau tersebut dicari di seluruh wilayah Manggarai, namun tidak berhasil. Karena itu nara (saudara) yang bernama Para berinisiatif untuk meminta bantuan weta (saudari) yang sudah menikah dengan suami dari Wontong. Pihak weta (saudari) di Wontong menyanggupi, namun hal itu terlebih dahulu melakukan suatu upacara takung (memberi sesajian) di hano (telaga) yang bernama Ndoéng sebelah selatan dusun Wontong, dengan media ela rae (babi berbulu merah), mbe kondo (kambing berbulu kombinasi merah-putih), dan lalong sepang (ayam jantan berbulu merah) masing-masing satu ekor. Setelah melakukan upacara takung (memberi sesajian), kemudian kerbau tersebut dicari dan berselang kira-kira tiga bulan kemudian, kerbau tersebut berhasil ditemukan di temek (rawa-rawa) Pateng sebelah barat Leong. Sebelum kaba pada (kerbau besar pendek) di bawa ke Ndoso, terlebih dahulu dilakukan upacara takung (memberi sesajian) sebagai ungkapan terima kasih kepada leluhur di hano (telaga) yang bernama Ndoeng. Media yang dipakai sama dengan yang pertama, yaitu ela rae (babi berbulu merah), mbe kondo (kambing berbulu kombinasi merah-putih) dan lalong sepang (ayam jantan berbulu merah) masing-masing satu ekor. Setelah upacara takung (memberi sesajian) kemudian kerbau tersebut di bawa turun menuju wae mese (kali besar) dan beristirahat di sebuah tempat yang diberi nama Watu Pada agak turun dari dusun Rado. Tempat tersebut dinamakan Watu Pada, karena di sana terdapat sebuah batu besar padas berwarna hitam seperti gumpalan cirit kerbau, yang diyakini berasal dari cirit atau kotoran kerbau tersebut. Pada hari berikutnya kerbau tersebut di bawa turun menyeberang wae mese (kali besar) dan naik melalui lumpung leleh (anak kampung yang bernama Leleh). Daerah tersebut dinamakan leleh, karena di sana kerbau tersebut mengeluarkan kencing sangat banyak. Dari tempat tersebut berjalan mendaki menuju dusun Ndoso melewati ngalor (kali kecil), dan baru tiba di dusun Ndoso membutuhkan waktu perjalanan ± satu bulan.
Ketika kerbau tersebut tiba di dusun Ndoso, kemudian diserahkan kepada pihak keluarga besar di Ndoso untuk melakukan pesta kelah (kenduri). Setelah selesai pesta kelah (kenduri) pihak keluarga Para, meminta kepada keluarga besar di dusun Ndoso untuk membayar bersama oleh keluarga besar di dusun Ndoso. Namun respon keluarga besar di dusun Ndoso menyatakan tidak mampu. Karena itu maka pihak weta (saudari) dari Wontong, meminta kepada keluarga besar di dusun Ndoso untuk merelakan nara (saudara) tinggal bersama di dusun Wontong. Kepindahan nara (saudara) yang bernama Para dari dusun Ndoso ke dusun Wontong, juga diikuti oleh seorang weta (saudari) bersama suaminya dari klan Kuleh. Pada mulanya tinggal di dusun Wontong untuk beberapa saat, namun kemudian pindah ke dusun Pongkal hingga sekarang. Material untuk membayar kaba pada (kerbau besar pendek) dari pihak nara (saudara) yang bernama Para kepada weta (saudari) yang bernama Hendang di dusun Wontong, sebagai pengganti mata uang adalah emah ba’o (emas dalam bentuk serbuk). Tidak lama kemudian klan Pateng yaitu weta (saudari) ketiga atau bungsu dari klan Pongkal, juga tinggal bersama di Pongkal.
5. Aksiologi Legenda Nggérang
Aksiologi dapat diartikan sebagai nilai yang memberikan kesejahteraan. Aksiologi atau nilai yang memberikan kesejahteraan dari legenda Nggérang menurut keterangan para ahli waris diwujudkan berupa kesehatan fisik, dan pemenuhan kebutuhan bahan makanan. Hal tersebut mendorong pihak ahli waris yang setelah sekian lama tinggal di dusun Pongkal dan tidak pernah kembali ke dusun Ndoso, untuk melakukan kegiatan titi watu boa de empo Nggérang (mengangkat batu kubur leluhur Nggérang), dari dusun Ndoso ke dusun Pongkal. Hal tersebut dilakukan atas prakarsa Andreas Jeha (alm.) dari panga (klan) Kuleh. Prosesi titi watu boa de empo Nggérang (mengangkat batu kubur leluhur Nggérang) dari dusun Ndoso ke dusun Pongkal pada tahun 1968, menempuh perjalanan dua hari pergi pulang. Ketika watu boa de empo Nggérang (batu kubur leluhur Nggérang) tiba di dusun Pongkal, dimasukkan ke rumah genderang dan disemayamkan di dekat hiri bongkok (tiang induk) selama tiga hari tiga malam. Pada hari ketiga dilakukan upacara weri watu de empo Nggérang (menanam batu leluhur Nggérang), dengan media memotong seekor kerbau berbulu merah (kaba rae) sebagai hewan korban di sompang (tempat memberi sesajian bagi roh para leluhur) di dusun Pongkal.
Pengaruh dari hal tersebut, semua keluarga keturunan leluhur Nggérang, yaitu panga (klan) Pongkal terjadi perubahan pada fisik, nampak sehat, tidak ditimpa hukuman karena kesalahan dalam perbuatan, tidak ditimpa kondisi wajah yang layu dan pucat, dan kemudian mendapatkan anak. Selain itu perubahan yang terjadi dalam panga (klan) Pongkal sendiri adalah kondisi ekonomi mereka mulai membaik dan dalam bidang pendidikan ada yang sudah mencapai strata 1 (S-1), dan ada yang mencapai strata 2 (S-2). Perubahan yang sama juga terjadi dalam panga (klan) Kuleh di Pongkal dan Pateng, yaitu ekonomi semakin membaik, dan dalam bidang pendidikan ada yang sudah mencapai strata 1 (S-1), strata 2 (S-2) bahkan strata 3 (S-3) atau Doktor. Dengan demikian pelestarian terhadap legenda Nggérang telah melahirkan banyak hal, antara lain dalam hal kondisi fisik, pada cucunya selalu energik, baik pada panga (klan) Pongkal dan Kuleh, maupun panga (klan) Pateng.
Menurut data versi Adak Todo yang ditulis van Bekkum (1946) dalam Dami N. Toda (1999) rumah adak Niang Wowang Todo sebagai bangunan terbesar dan tertinggi memiliki dekorasi lambang tanduk kerbau di pangkal lingga Ngando (bubungan) yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya 13 Dalu dan 11 Gelarang, karena di dalamnya tersimpan Gong/Gendang lambang kesatuan kedaulatan wilayah tanah. Di rumah Adak tersebut tersimpan genderang ritual, genderang kecil mistis bernama Gendang Wela Loe yang bagian dalamnya terbuat dari kulit manusia seorang gadis cantik bernama Nggérang (data ini sesuai dengan data yang dimiliki para ahli warisnya di Pongkal). Menurut van Bekkum (1946) dalam Dami N. Toda (1999), gadis cantik yang bernama Nggérang hanya mau menikah dengan Kraeng Adak Todo atau Pongkor, sehingga dikurbankan dibunuh untuk upacara pengukuh tanah ulayat randang lingko sembong Todo-Pongkor. Ia dinikah secara spiritual dengan lembaga Adak. Kulit perut dan punggungnya dibuatkan dua gendang Wela Loe upacara tersimpan di rumah induk Niang Wowang Todo dan Niang Wowang Pongkor, tetapi di Pongkor sudah terbakar bersama Niang Wowang Pongkor, sedangkan di Todo masih tersimpan hingga kini (data ini tidak sesuai dengan data yang dimiliki para ahli warisnya di Pongkal).
Genderang leluhur Nggérang ada dua, yang satu ada di Todo yang berasal dari kulit perut, dan satunya lagi berada di Sumba yang berasal dari kulit punggung (Dion Pangul, Yogyakarta, 2006). Genderang yang berasal dari kulit punggung memiliki keistimewaan, jika dipukul semua orang terdiam serentak dan menghentikan semua aktivitasnya. Gendang yang ada di Sumba itu diakui keberadaannya oleh Frans Medu dari Golo Momol ketika ia menjual barang dagangannya ke Sumba pada tahun 2005. Sedangkan genderang yang ada di Todo yang berasal dari kulit perut leluhur Nggérang tidak memiliki keistimewaan seperti genderang yang ada di Sumba, kecuali sebagai simbol joreng (keranjang besar menyimpan padi), dan Adak Todo tidak memberikan apresiasi yang seharusnya. Dengan demikian data versi adak Todo yang ditulis Van Bekkum (1946) dalam Dami N. Toda (1999) tidak sesuai dengan data asli yang dimiliki ahli waris yang ada di dusun Pongkal.
Pada hari Jumat, 13 Juli 2007 pesta mut mbaru gendang weru (peresmian rumah genderang baru) di dusun Pongkal, diawali dengan prosesi mengantar kembali tembong, gendang, nggong dan semua perlengkapan yang lain, dari rumah simpan sementara ke rumah adat genderang Pongkal yang baru. Penghormatan terhadap legenda Nggérang dilakukan oleh klan Pongkal dan Kuleh di dusun Pongkal, dengan melakukan syukuran. Syukuran tersebut diilhami oleh suatu pengalaman kontemplasi, leluhur Awang didampingi leluhur Honggo, menyuruh cucunya mengambil genderang di Todo. Dalam pengalaman kontemplasi tersebut, leluhur Awang yang tinggi, kulit putih dan rambut agak uban, menyuruh mengambil genderang di Todo. Leluhur Honggo yang membawa parang lengkap dengan sarungnya diikatkan pada pinggangnya memberi motivasi agar cucunya tidak perlu takut. Namun cucunya keberatan karena tidak memiliki uang dan takut karena tidak memiliki pasukan yang memadai untuk menghadapi penjagaan yang ketat di Todo. Karena itu leluhur Awang meyakinkan cucunya dengan memberi uang kertas berwarna merah dengan nominal seratus ribu rupiah perlembar, sebanyak dua puluh lembar. Setelah menerima uang tersebut maka cucunya keluar dari pengalaman kontemplasi dan merenung makna pesan tersebut. Pada akhir tahun 2006 atas prakarsa pater Yustinus OFM., menyampaikan rencana mendirikan rumah genderang yang baru dengan model Niang (rumah berbentuk kerucut, mirip payung setengah terbuka), dengan delapan sudut (simbol delapan rumpun tebu di temek Alo). Rencana tersebut terwujud ketika pekerjaan membangun rumah tersebut diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, sekitar empat bulan, yaitu pada bulan April 2007 sudah selesai seratus persen. Dari sebab itu maka rencana untuk pesta peresmian pemakaian rumah genderang baru dilaksanakan pada bulan Juli 2007. Pada acara tersebut cucu leluhur Awang dan Honggo, menyarankan pestanya memotong seekor kerbau berbuluh merah. Hal ini sebagai salah satu jawaban atas pesan leluhur Awang dan jaminan leluhur Honggo untuk mengambil genderang di Todo.
Setelah selesai acara peresmian pemakaian rumah genderang baru, dilanjutkan dengan berwalih atau penti (memberi sesajian kepada roh leluhur) setahun sekali, sehabis panen. Pada acara tudak (doa persembahan) giliran pertama dari klan Pongkal, kedua dari klan Kuleh. Untuk klan Pongkal, ketika memotong ayam yang sudah tudak (doa persembahan) dan darahnya di tampung pada sebuah piring, tidak menunjukkan penyebaran yang spesifik, namun untuk klan Kuleh menunjukkan penyebaran yang spesifik, yaitu membentuk gambar kepala dan tanduk kerbau. Simbol tersebut tentu bermakna bagi klan Kuleh membuat syukuran dengan memotong seekor kerbau berbulu biasa.
Namun menjelang acara syukuran dilaksanakan, penulis kembali masuk pada pengalaman kontemplasi, kerbau yang dimaksudkan bukan berbulu biasa tetapi berbulu merah (kaba rae). Ketika merencanakan syukuran yang dilaksanakan pada Juli 2008, sebelum berangkat dari Yogyakarta dalam sebuah pengalaman kontemplasi, penulis sedang duduk dalam sebuah motor both di laut lepas tanpa dikemudi, namun meluncur dengan kecepetan tinggi menuju pantai yang sudah kelihatan dari jauh. Ternyata pada anjungan depan berdiri seorang gadis yang sangat cantik, berwibawa, berkharisma, berperawakan kecil, tinggi, kulit putih, rambut ikal dan panjang, agak pirang, muka bulat kecil dan hidung mancung, dan sangat sulit untuk dibandingkan dengan gadis yang lain. Gadis tersebut saya bisa pastikan leluhur Nggérang, mengangkat tangan kanannya menunjuk ke arah depan sambil tangan kirinya memegang motor both dan wajahnya menatap ke penulis dengan tersenyum sambil memberikan perintah dengan menunjuk jari ke depan dan berkata : arahkan motormu ke pantai sana!
Nampaknya dalam pengalaman kontemplasi tersebut pantai yang ditunjuk itu seperti sebuah kota besar dimana lampu-lampu kota sedang berkelap-kelip, perjalanan motor both kami dengan kecepatan tinggi, dan air laut sangat bening tidak berombak, seakan-akan air laut mengalir mendorong motor both kami ke depan, dan ketika sampai ke tepi pantai yang ditunjuk, gadis yang menunjuk jalan tadi langsung hilang dari pengalaman kontemplasi penulis. Kemudian penulis tinggalkan motor both di situ, langsung turun ke daratan dan masuk pada jalan besar yang sudah diaspal. Disitu sudah tersedia seekor kuda dan penulis langsung menunggang kuda tersebut dengan kecepatan tinggi, namun ketika kuda sedang lari dengan kecepatan tinggi, seketika itu juga muncul seorang bapak sedang menunggang kuda lari dengan kecepatan tinggi dan selalu berada di depan penulis. Setelah berlari kencang sudah cukup jauh, kuda penulis dan kuda dari seorang bapak yang mendampingi penulis juga berhenti di suatu tempat yang cukup luas dan hijau, kemudian kedua kuda tersebut dipegang oleh orang lain yang tidak diketahui identitasnya di bawa ke tempat rumput yang hijau. Kemudian penulis mencari tempat untuk beristirahat, namun di dekat tempat tersebut ada sebuah restoran yang sedang dibuka, namun masih sepi, maka penulis tidak jadi makan.
Sebelum acara syukuran yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 2008, penulis kembali memperoleh sebuah pengalaman kontemplasi, yaitu belum sepenuhnya terrealisasi penulis menerima uang sejumlah dua juta rupiah dari leluhur Awang dan Honggo. Dengan berpedoman pada pengalaman kontemplasi tersebut, maka pada malam hari menjelang syukuran, keluarga Klan Kuleh tanpa melibatkan klan Pongkal, melaksanakan acara tudak (doa persembahan) teti du’ang de empo (mengangkat roh leluhur) Nggérang baik untuk genderang yang ada di Todo sebagai simbol joréng (keranjang besar untuk menyimpan padi), dan genderang yang ada di Sumba sebagai simbol profesi, maupun untuk sebagian loke (kulit) yang ditanamkan di tengku romot dekat Reo, diangkat dan ditempatkan pada hiri bongkok (tiang induk) di rumah genderang Pongkal. Pada keesokan harinya yaitu hari Kamis, tanggal 3 juli 2008 acara tudak (doa persembahan) syukuran untuk panga (klan) Kuleh dilaksanakan. Juru tudak (doa persembahan) yang sangat mumpuni adalah bapak Urbanus Nenga dari Kengko.
Hasil tudak (doa persembahan) teti du’ang de empo (mengangkat roh leluhur) Nggérang, dalam pengalaman kontemplasi melalui saudara Basi dari Wetik, dari atas ngando (lingga) rumah genderang baru, turun dua buah karung besar gabah, yang satu jatuh tepat dekat dengan hiri bongkok (tiang induk) rumah genderang dan masuk ke dalam sebuh joréng (keranjang besar) untuk menyimpan padi, dan satunya lagi jatuh dekat tiang menuju pintu keluar, namun tidak masuk ke dalam joréng (keranjang besar) tetapi tenggelam terus ke bawah dan pada akhirnya menghilang. Pengalaman kontemplasi tersebut memberi jalan, bahwa joréng (keranjang besar) yang jatuh tepat dekat dengan hiri bongkok (tiang induk) menunjukkan klan Pongkal yang menempati rumah genderang Pongkal akan mendapatkan rezeki baik dalam usaha maupun dalam profesi, namun sangat tergantung pada urak (nasib) masing-masing. Untuk joréng (keranjang besar) yang jatuh dekat dengan tiang menuju pintu keluar menunjukkan bagian yang satu lagi untuk klan Kuleh yang tempatnya di Pateng.
Hal yang sama namun dalam pengalaman kontemplasi yang berbeda, melalui Ibu Isabela Tima (istri Kornelis Bujen), ketika membawa doa persembahan oleh bapak Urbanus Nenga dalam Ekaristi Kudus yang dipimpin Pater Marten SVD dari Desa Wontong yang sedang berlibur datang dari tempat tugasnya di Kongo Afrika, pada saat nama-nama yang sudah berkarya disebutkan, leluhur Nggérang hadir. Ia hadir dalam wujud seorang gadis yang sangat cantik, berwibawa, berkharisma, disegani, duduk dengan posisi kaki bersila di atas sebuah bantal tinggi yang dihiasi untaian mutiara dan melayang di atas meja altar, sambil mengangkat dan mengulurkan tangan untuk melindungi baik nama-nama yang disebutkan dalam doa persembahan maupun untuk seluruh klan Kuleh. Apa yang dilihat dalam pengalaman kontemplasi Ibu Isabela Tima sama persis dengan pengalaman kontemplasi penulis, leluhur Nggérang dalam penampilannnya memperlihatkan dirinya sebagai seorang dewi yang berkharisma, berwibawa dan selalu siap untuk memberikan bantuan kepada cucu-cucunya jika diminta. Leluhur Nggérang tampil sebagai sosok yang sangat cantik, berkharisma, berwibawa, disegani, dengan ciri-ciri yang nampak ketika itu, rambut panjang agak ikal hingga pinggul berwarna agak pirang, bibir tipis berwarna merah, hidung mancung, wajah bulat panjang kecil, pipi merah delima tipis, secara keseluruhan muka bulat panjang, berperawakan tinggi kecil, sambil mendengar doa persembahan dengan senyum simpati.
KESIMPULAN
Legenda Nggérang diwujudkan berupa dua buah genderang, yang satu berasal dari kulit emas pada punggungya yang memiliki kharisma dalam bidang akademis, dan sekarang berada di pulau Sumba, dan yang satunya lagi berasal dari kulit perutnya juga memiliki kharisma dalam bidang ekonomi, dan sekarang berada di Todo. Legenda Rara Jonggrang diwujudkan berupa arca yang berada di ruang Utara candi Siwa di plataran candi Prambanan, sebagai simbol akhir dari perjuangan hidup manusia.
Pelestarian legenda Nggérang di Manggarai Barat dalam perspektif ekowisata sudah dilakukan dan terus dilakukan, karena ia merupakan icon bagi perkembangan budaya sebagai bagian integral dalam pengembangan pariwisata. Pembangunan Rumah adat yang disebut Niang, dan dilestarikan sebagai bagian dari ekowisata yaitu pariwisata yang berwawasan lingkungan. Pariwisata perlu dibangun melalui konsep sadar wisata, dan konsep tersebut diimplementasikan melalui ekowsiata. Ekowisata adalah pariwisata yang berwawasan lingkungan. Ekowisata selain yang berkaitan dengan alam (nature) juga yang berkaitan dengan hasil-hasil budaya, seperti warisan para leluhur.
Rumah adat Niang, merupakan duplikasi dari rumah adat Minangkabau dengan ngando (lingga) tunggal, melambangkan hubungan vertikal dengan Tuhan. Rumah adat dibangun dengan dasar tiang utama yang disebut hiri bongkok (tiang induk) hingga ngando (lingga) melambangkan hubungan vertikal antara manusia yang menempati bumi dengan Tuhan yang menempati Surga.
Rumah adat di dusun Pongkal yang disebut Niang, diapiti oleh pilar (tiang penyangga) dengan sudut delapan, melambangkan asal usul putri Nggérang dari legenda di temek waé mata alo (rawa-rawa mata air delapan) dan tebu delapan rumpun. Dengan gaya tersebut penulis banyak mendapat pencerahan langsung dari leluhur Nggérang.
Genderang kecil (Tembong) dari putri Nggérang bagian yang ditutup bermakna sebagai titik tolak memberi jalan bagi para ahli warisnya dan bagian yang terbuka bermakna sebagai koridor menjalankan profesi untuk memperoleh kemakmuran, kesejahteraan, kebahagiaan, dan mau membagikannya kepada semua orang disekitarnya yang memang sangat membutuhkan uluran tangan.
Daftar Pustaka
DepDikBud, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
DepBudPar, 2008, Pelaksanaan Sadar Wisata (Panduan) (Visit Indonesia 2008 Celebrating
100 Years of Nation’s Awakening), DepBudPar, Jakarta
_________, 2008, Penatar dan penyuluh Kepariwisataan Indonesia (Buku Pegangan),
DepBudPar, Jakarta
Haryati, Soebadyo, dkk., 1996, Indonesian Heritage (Ancient History), Jayakarta Agung
Offset, Jakarta
Koentjaraningrat, 1997, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Djambatan,
Jakarta
Oka A. Yoeti, 2000, Ecotourism, Pariwisata Berwawasan Lingkungan, Hal.
34-50), Dalam Oka A. Yoeti, 2000, Ekowisata Pariwisata Berwawasan
Lingkungan Hidup, PT. Pertja, Jakarta
________, 2006, Pariwisata Budaya (Masalah dan Solusinya), PT. Pradnya Paramita,
Jakarta
Toda N. Dami, 1999, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Nusa Indah, Ende
Verheijen, A. J. Jilis, SVD., 1967, Kamus Manggarai I Manggarai – Indonesia
Koninklijk Instituut Voor Taaland-En Volkenkunde, Nederland
id.wikipedia.org/wiki/Rara_Jonggrang_Tembolok_Mirip. Retrieved on Juli 4.2011.
Nara Sumber
Lasa Tongong, 2006, Ahli waris heritage Nggérang
Simon Samu, 2005, Ahli waris heritage Nggérang
Bio Data Penulis
A. Identitas
1. Nama Lengkap : Dr. Nicolaus Got, M.Hum.
2. Tempat, Tanggal lahir : Pongkal, 7 Desember 1953
3. Istri : Helena Devis Hidayati (9 Juni 1987)
4. Anak : a. Natalia Heni Primawati (23 Juli 1988)
: b. Gregorius Dwi Perkasa (22 Maret 1993)
B. Pendidikan
1. Sekolah Rakyat Katolik (SRK) di Regho
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP)
a. Seminari Menengah Pius XII Kisol,
b. Kelas III di SMPK Reo,
3. SMA
SMA Swadaya Ruteng (sekarang SMUN I Ruteng)
4. Kuliah
a. SarMud. Pendidikan IKIP Yogyakarta, selesai 1978 (Sekarang UNY)
b. Sarjana Pendidikan IKIP Yogyakarta, selesai 1980 (Sekarang UNY)
c. Sekolah Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM, selesai 2000.
d. Sekolah Pascasarjana S-3 Ilmu Filsafat UGM, selesai 2008.
C. Pengalaman Kerja
1. Guru di SMP Gotong Royong Pacar, 1971
2. Guru di SMAK Reo, Agustus 1981- Juli 1983
3. Dosen di Unwira Kupang Agustus – Desember, tahun 1983
4. Dosen di IKIP Veteran Yogyakarta, sebagai PNS, Juli 1987 – Juli 1998
5. Dosen di AKPARDA Yogyakarta sebagai PNS,November 2000 - 2009
6. Direktur AKPARDA Yogyakarta, Juni 2006 – 2010
7. Dosen STIPRAM 2011-
0 komentar:
Posting Komentar